A.
Sekilas tentang Sosialisasi
Telah
menjadi bagian dari studi sosiologi pendidikan bahwa
sosialisasi
merupakan salah satu topik kajian yang dipelajari secara
serius.
Mengingat arti sosialisasi itu sendiri merupakan proses
alamiah
yang membimbing individu untuk mempelajari, memahami
dan
mempraktikkan nilai-nilai, norma-norma, pengetahuan
serta
keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat, sosialisasi
memiliki
urgensi yang begitu kuat terhadap keberlangsungan
pendidikan
bagi individu sebagai anggota masyarakat.
Proses
sosialisasilah yang membuat seseorang menjadi tahu
bagaimana
seharusnya seseorang bertingkah laku di tengahtengah
masyarakat
dan lingkungan budayanya. Proses sosialisasi
membawa
seseorang dari keadaan belum tersosialisasi menjadi
masyarakat
dan beradab. Melalui sosialisasi, seseorang secara
berangsur-angsur
mengenal persyaratan-persyaratan dan tuntutan-
tuntutan
hidup di lingkungan budayanya.
Oleh
karena pentingnya pembahasan sosialisasi, maka secara
khusus
para ahli memfokuskan perhatian studinya guna mengungkap
arti
sosialisasi sesuai dengan titik tolak dan sudut pandang
yang
berbeda-beda. Tokoh-tokoh seperti Kimbal Young, R.S.
Lazarus,
Havigurst, Naugarten, Thomas Ford Hoult serta George
Herbert
Mead seperti dirangkum Ahmadi (1991) mengemukakan
pengertian
sosialisasi mencakup :
1.
Proses sosialisasi adalah proses belajar. Yaitu suatu proses
akomodasi
di mana individu menahan, mengubah impulsimpuls
dalam
dirinya lalu diikuti oleh upaya pewarisan cara
hidup
atau kebudayaan masyarakatnya,
2.
Dalam proses sosialisasi itu individu mempelajari kebiasaan,
sikap,
ide-ide, nilai-nilai dan tingkah laku dalam masyarakat
di
mana ia hidup, dan
3.
Semua sikap dan kecakapan yang dipelajari dalam proses
sosialisasi
itu disusun dan dikembangkan secara sistematis
dalam
pribadinya.
Dengan
proses sosialisasi individu berkembang menjadi
suatu
pribadi atau makhluk sosial. Pribadi atau makhluk sosial ini
merupakan
kesatuan integral dari sifat-sifat individu yang berkembang
melalui
proses sosialisasi, hal mana yang mempengaruhi
hubungannya
dengan orang lain dalam masyaraat.
Dalam
ilmu sosial, studi tentang sosialisasi telah sampai
pada
penilaian beberapa ilmuwan sosial untuk mengungkap hakikat
keberadaan
manusia. Sebuah jawaban yang dilontarkan kepada
mereka-mereka
yang mempertanyakan asal-usul dan selukbeluknya.
Petanyaan
tersebut telah menantang para ahli ilmu-ilmu
sosial
dan filsafat selama bertahun-tahun. Kini terdapat suatu
pemahaman
umum mengenai sifat dari keberadaan manusia
meskipun
beberapa aliran mempunyai cara pendekatan yang
berbeda-beda.
Di antara mereka ini lebih banyak mengupas
eksistensi
manusia dalam konteks sosial kebudayaannya, dengan
mengemukakan
tentang teori konsep diri.
Secara
objektif, kedirian (self)
dapat dikatakan sebagai kesadaran
terhadap
diri sendiri dan bagaimana ia memandang orang
lain.
Ahli yang telah menyelidiki kedirian itu di antaranya,
Charles
Horton Cooley, Goerge Herbert Mead dan Sigmund
Freud,
meskipun ketiganya memiliki konsep dan teori yang berbeda
sesuai
dengan persepsi ilmiah masing-masing namun pada
dasarnya
ketiga tokoh tersebut memiliki letak persamaan teoritis
(Faisal
dan Yasik, 1998), sebagai berikut :
1.
Kedirian itu bersifat sosial,
2.
Kedirian itu membutuhkan masyarakat untuk menjelaskannya
secara
sempurna, dan
3.
Kesadaran individu terhadap dirinya timbul akibat pergaulan
dengan
orang lain.
Dari
penegasan tiga tokoh di atas lebih spesifik Broom dan
Selznick
dalam Ahmadi (1991) memandang tiga cara sosialisasi
dalam
upaya membentuk suatu tingkah laku. Pertama, dalam
proses
sosialisasi
itu seseorang mendapatkan bayangan dirinya (self
image).
Bayangan diri itu timbul setelah ia memperhatikan cara
orang
lain memandang dan memperlakukan seseorang, hal itu
bisa
timbul akibat penilaian orang lain yang terus menerus memsuatu bayangan diri
yang menguntungkan bagi perkembangan
seseorang,
hal ini bisa timbul akibat penilaian orang lain..nmbnmbm mb
Kedua,
dalam sosialisasi juga membentuk kedirian yang idealis
orang
bersangkutan untuk mengetahui dengan pasti apa-apa
yang
harus ia lakukan agar dapat memperoleh pujian dan rasa
cinta
dari orang lain. Bentuk kedirian yang ideal itu juga berfungsi
untuk
meningkatkan ketaatan si anak kepada norma-norma sosial.
Ketiga,
pada akhirnya sosialisasi juga membentuk kedirian
manusia
itu dengan jalan membangun suatu ego. Ego secara
umum
dapat
dikatakan sebagai fungsi pengontrol yang integratif dalam
diri
seseorang. Menurut definisi yang populer, ego dapat
dipersamakan
dengan
hati nurani. Bila seseorang menginjak dewasa,
diharapkan
ia dapat mengontrol dirinya sendiri seolah-olah orang
lain
juga mengamatinya, meskipun sebenarnya mungkin tidak ada
orang
lain yang memperhatikannya.
Begitulah
konsepsi teoretis yang dikembangkan oleh beberapa
ahli
dalam menanggapi masalah hakikat keberadaan seorang
individu
terkait dengan lingkungan sosialnya. Secara singkat
dapat
dikatakan sosialisasi merupakan upaya belajar sosial individu
untuk
menyesuaikan kondisi, situasi dan sinergisitas antara
kebutuhan
individu dengan tuntutan eksternalnya.
Oleh
sebab itu di sisi lain muncul juga suatu konsepsi teoritis
tentang
sosialisasi yang dimaknai sebagai proses penyesuaian diri.
Konsep
penyesuaian diri ini berasal dari biologi, dan merupakan
konsep
dasar yang digunakan Teori Evolusi Darwin. Dalam biologi,
istilah
yang digunakan ialah adaptasi. Menurut
teori tersebut
hanya
organisme yang berhasil menyesuaikan diri terhadap
lingkungan
fisiknya sajalah yang dapat tetap hidup.
Tingkah
laku manusia itu diterangkan sebagai reaksi-reaksi
terhadap
tuntutan atau tekanan dari lingkungan eksternalnya. Di
daerah
yang dingin manusia harus berpakaian tebal untuk mengatasi
iklim.
Contoh tersebut menunjukkan bahwa tingkah laku
manusia
itu merupakan penyesuaian diri terhadap tuntutantuntutan
lingkungan
fisik.
Namun
karena manusia hidup dalam masyarakat, maka
tingkah
lakunya bukan sekadar penyesuaian diri terhadap tuntutan-
tuntutan
fisik lingkungan -nya, melainkan juga merupakan
penyesuaian
diri terhadap tuntutan dan tekanan sosial dari luar.
Sehingga
konsep adaptasi yang
berasal dari biologi itu dalam ilmuilmu
sosial
(khususnya Psikologi) mendapat istilah, adjusment.
Baik
adaptasi maupun adjusment
kita terjemahkan dengan “proses
penyesuaian
diri terhadap lingkungan fisik maupun lingkungan
sosial”.
Proses penyesuaian diri itu merupakan reaksi terhadap
tuntutan-tuntutan
untuk dirinya. Tuntutan-tuntutan tersebut
dapat
digolongkan menjadi tuntutan internal dan eksternal.
Keseimbangan
antara pemenuhan dorongan internal dengan
penyesuaian
terhadap tuntutan lingkungan luarnya akan menghasilkan
kepuasan
bagi seorang individu. Adapun kepuasan itu
dapat
berupa kepuasan psikis, efisiensi kerja atau pengakuan
sosial
dari masyarakat atas kerja yang dilakukannya, sehingga
pada
tahap selanjutnya akan mengkisahkan wujud keserasian
aktualisasi
kebutuhan individu sebagai makhluk individu
maupun
makhluk sosial. Namun apabila kedua komponen tersebut
justru
menimbulkan benturan-benturan maka bisa memicu
konflik
yang menghambat upaya pemenuhan kebutuhannya.
Oleh
sebab itu diperlukan proses penyesuaian yang lebih
detail
untuk mempertemukan kedua kutub ekstrim tersebut supaya
menemui
keselarasan. Proses penyesuaian diri itu suatu proses
progresif
yang memungkinkan individu dapat menguasai impulsimpuls
pribadinya
maupun tuntutan lingkungannya. Adapun proses
penyesuaian
itu dilalui dengan tiga tahap, yakni :
1.
Tahap akomodasi, yakni rangkaian penyesuaian diri individu
untuk
mengubah atau menahan impuls-impuls dalam dirinya.
Dalam
tahap ini individu berusaha menahan diri dan menerima
cara
hidup atau budaya masyarakatnya.
2.
Tahap asimilasi, merupakan proses perpaduan akibat interaksi
titik
ekstrim antara kepentingan individu dengan kondisikondisi
lingkungannya
sehingga dapat menimbulkan hal-hal
yang
benar-benar baru dari proses awal. Sebagai contoh, untuk
mengubah
tanah pertanian yang tandus menjadi subur orang
menggunakan
pupuk.
3.
Tahap integrasi, adalah rangkaian upaya sistemik dari seorang
individu
untuk mengorganisasikan hasil-hasil integrasi mutualistis
antara
kepentingan-kepentingan tersebut ke dalam
suatu
konteks kepribadian yang selaras dengan lingkungan
luarnya. Skema Proses Penyesuaian Diri Individu dengan
Lingkungan Luarnya
Sosialisasi atau dengan
kata lain disebut sebagai proses
belajar sosial
merupakan proses yang berlangsung sepanjang
hidup (lifelong
process), bermula sejak lahir hingga mati. Proses
sosialisasi itu terjadi
dalam kelompok atau institusi sosial di dalam
masyarakat. Diantara
kelompok atau institusi sosial yang berperan
penting dalam
sosialisasi anak adalah keluarga, kelompok sebaya,
sekolah, kelompok
keagamaan, perkumpulan pemuda, institusi
politik dan ekonomi,
dan media massa.
Sosialisasi sebagai
bagian dari pendidikan berlangsung dalam
tiga komponen penting
yang menjadi faktor penentu terbentuknya
kepribadian seseorang.
Oleh Ki Hadjar Dewantara faktor-faktor
tersebut dirangkum
dalam satu istilah bernama Tri Pusat
Pendidikan,
yaitu meliputi rumah atau keluarga, sekolah atau
lembaga pendidikan
formal, masyarakat atau pendidikan non
formal.
a. Di rumah
atau di dalam keluarga anak berinteraksi dengan
orang tua (atau
pengganti orang tua) dan segenap anggota
keluarga lainnya. Ia
memperoleh pendidikan informal, berupa
pembentukan
pembiasaan-pembiasaan (habit formation) seeprti,
cara makan, tidur,
bangun pagi, gosok gigi, mandi, cara berpakaian,
tata krama, sopan
santun, religi dan lain sebagainya.
Pendidikan informal
dalam keluarga akan banyak membantu
dalam meletakkan dasar
pembentukan kepribadian anak.
Misalnya sikap
religius, disiplin, lembut/kasar, rapi/rajin,
penghemat/pemboros, dan
sebagainya dapat tumbuh, bersemi
dan berkembang senada
dan seirama dengan kebiasaannya di
rumah.
b. Di
sekolah anak berinteraksi dengan guru-guru (pengajar)
beserta bahan-bahan
pendidikan dan pengajaran, temanteman
peserta didik lainnya,
serta pegawa-pegawai tata usaha.
Ia memperoleh
pendidikan formal (terprogram dan terjabarkan
dengan tetap) di
sekolah berupa pembentukan nilai-nilai,
pengetahuan,
keterampilan dan sikap terhadap bidang studi/
mata pelajaran. Akibat
bersosialisasi dengan pendidikan formal,
terbentuklah
kepribadiannya untuk tekun dan rajin
belajar disertai dengan
keinginan untuk meraih cita-cita akademis
yang
setinggi-tingginya.
c. Di
masyarakat anak berinteraksi dengan seluruh anggota
masyarakat yang beraneka
ragam (heterogen),
seperti orangorang,
benda-benda, dan
peristiwa-peristiwa. Ia memperoleh
pendidikan nonformal
atau pendidikan luar sekolah berupa
berbagai pengalaman
hidup. Agar masyarakat dapat melanjutkan
eksistensinya, maka
kepada generasi muda harus diteruskan
atau diwariskan
nilai-nilai, sikap, pengetahuan, keterampilan
dan bentuk-bentuk pola
perilaku lainnya. Setiap
masyarakat meneruskan
kebudayaannya (beserta perubahannya)
kepada generasi
penerusnya melalui pendidikan dan
interaksi sosial. Dengan
demikian pendidikan dapat diartikan
sebagai sosialisasi,
dan belajar adalah sosialisasi yang berkesinambungan.
B.
Beberapa Pendekatan dalam Sosialisasi
Bagaimana sosialisasi
itu dilaksanakan ? Dalam studi sosiologi
para teoretikus
mengemukakan beberapa teori sosialisasi yang
menjelaskan cara
melakukan sosilasisasi, di mana cara-cara tersebut
merupakan proses
komunikasi sosial dan komunikasi antarbudaya
yang selama ini
sekaligus menjadi medium dari interaksi individu dalam dunia sosialnya. Teori
tersebut yakni sebagai
berikut.
1. Teori
Sosialisasi Pasif. Pertama, dari Talcot Parson,1959 dalam
Liliweri (2001) yang
mengemukakan bahwa proses sosialisasi
merupakan bagian dari
perspektif fungsionalisme. Sosialisasi
seperti belajar
berlangsung terus selama hidup namun proses
yang paling dramatis
dikaitkan dengan anak didik. Jadi, ada
proses yang
mengharuskan perubahan terhadap struktur
kepribadian dasar. Di
satu pihak, tuntutan anak didik harus
diubah namun di lain
pihak anak didik masih bergantung
pada keteraturan dalam
struktur dan fungsi, misalnya fungsi
keluarga. Kedua,
sosialisasi dari Kluchkon yang konsepnya
didasarkan pada proses
mengubah orientasi anak didik. Misalnya
orientasi nilai,
orientasi terhadap kodrat, alam, waktu,
modalitas. Ketiga,
sosialisasi dari Mc. Clelland bahwa keinginan
untuk mencapai prestasi
pribadi, kebutuhan akan berprestasi
sudah merupakan
keinginan setiap manusia. Ketiga-tiganya
tetap menekankan
pengaruh dari struktur sosiokultur
dominan yang paling
vital membentuk individu dalam proses
sosialisasi. Individu
hanya sekadar bagian kecil dari sistem
sosial makro yang
melingkupi kehidupannya hanya bermaksud
memberikan
reaksi-reaksi pasif untuk menyesuaikan
tuntutan-tuntutan
eksternal.
2. Teori
Sosialisasi Aktif. Menurut Mead dalam Liliweri (2001)
manusia tidak saja
merespon nilai baru tetapi menciptakan
peranannya dalam
kondisi material di mana ia hidup agar bisa
sukses merespon hal
baru. Kondisi itu hanya bisa dibentuk
melalui proses
interaksi dengan orang lain.
3. Teori
sosialisasi radikal, yang berlangsung dalam masyarakat
yang berlapis-lapis.
Konsep ini mengacu pada hegemoni
Gramsci yang
mengemukakan bahwa kemampuan kelompok
dominan selalu berusaha
untuk mempertahankan statusnya
kemudian
mensosialisasikan nilainya kepada yang lain.
C.
Sekolah dan Sosialisasi
1.
Hakikat Sekolah
Sekolah memegang
peranan penting dalam proses sosialisasi
anak, walaupun sekolah
merupakan hanya salah satu lembaga
yang bertanggung jawab
atas pendidikan anak. Anak mengalami
perubahan dalam
perilaku sosialnya setelah ia masuk ke sekolah.
Di rumah ia hanya
bergaul dengan anggota keluarga yang terbatas
jumlahnya, terutama
dengan anggota keluarga dan anak-anak
tetangga. Suasana
dirumah bercorak informal dan banyak tindakan
yang diizinkan menurut
suasana di rumah.
Anak itu mengalami
suasana yang berbeda di sekolah. Ia
bukan lagi anak
istimewa yang diberi perhatian khusus oleh ibu
guru, melainkan hanya
salah seorang di antara puluhan murid
lainnya di dalam kelas.
Dengan suasana kelas demikian, anak itu
melihat dirinya sebagai
salah seorang di antara anak-anak lainnya.
Jadi di sekolah anak
itu belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan
sosial yang baru yang
memperluas keterampilan sosialnya.
Ia juga berkenalan
dengan anak yang berbagai ragam latar
belakang dan belajar
untuk menjalankan peranannya dalam
struktur sosial yang
dihadapinya di sekolah.
Dalam perkembangan
fisik dan psikologis anak, selanjutnya
anak memperoleh
pengalaman-pengalaman baru dalam hubungan
sosialnya dengan
anak-anak lain yang berbeda status sosial,
kesukuan, agama, jenis
kelamin dan kepribadiannya. Lambat laun
ia membebaskan diri
dari ikatan rumah tangga untuk mencapai
kedewasaan dalam
hubungan sosialnya dengan masyarakat luas.
Sebagian besar proses
sosialisasi terjadi secara informal.
Namun tiap-tiap
masyarakat mengenal institusi sosial khusus
tempat berlangsungnya
proses sosialisasi secara formal yang
disebut sekolah. Dalam
sejarah telah diketemukan sekolah-sekolah
di Mesir dan Tiongkok
Kuno kira-kira 2000 tahun sebelum
Masehi. Sekolah-sekolah
tempat mendidik para pendeta dan
ulama hampir terdapat
pada semua masyarakat. Pada zaman
dahulu pendidikan
sekolah merupakan hak istimewa bagi
golongan elite, baik
golongan politik, agama, militer maupun
ekonomi.
Dewasa ini pendidikan
sekolah menjadi makin penting dan
mencakup ruang lingkup
yang lebih luas. Masyarakat modern
menuntut adanya
pendidikan sekolah yang bersifat massal. Untuk
itu masyarakat modern
mencurahkan investasinya kepada institusi-
institusi pendidikan.
Seperti proses sosialisasi pada umumnya,
pendidikan sekolah
mempunyai dua aspek penting, yaitu
aspek individual dan
sosial. Di satu pihak pendidikan sekolah
bertugas mempengaruhi
dan menciptakan kondisi yang memungkinkan
perkembangan pribadi
anak secara optimal. Di pihak lain pendidikan sekolah bertugas mendidik agar
anak mengabdikan
dirinya kepada
masyarakat.
Menurut Webster, 1991
(dalam Hasbullah, 1999) sekolah
merupakan tempat atau
institusi/lembaga yang secara khusus
didirikan untuk
menyelenggarakan proses belajar mengajar atau
pendidikan. Sebagai
institusi, sekolah merupakan tempat untuk
mengajar murid-murid,
tempat untuk melatih dan memberi
instruksi-instruksi
tentang suatu lapangan keilmuan dan keterampilan
tertentu kepada siswa.
Tempat yang dinamakan sekolah itu
merupakan satu kompleks
bangunan, laboratorium, fasilitas fisik
yang disediakan sebagai
pusat kegiatan belajar dan mengajar.
Berdasarkan pendapat
itu maka sekolah mengandung dua
makna, secara fisik
sekolah terdiri dari bangunan-bangunan
gedung dan
laboratorium, jadi sekolah dalam artian material.
Sedangkan yang nonfisik
terdiri dari sistem-sistem hubungan
antara mereka yang
ditugaskan untuk mengajar (guru, pelatih dan
lain-lain) dengan yang
diajar (murid, siswa), jadi sekolah dalam
artian spiritual.
Kedua artian tersebut
di atas saling mendukung, misalnya
guru tidak bisa
mengajar, mensosialisasikan nilai-nilai (artian
spritual) dengan
sempurna apabila tidak didukung oleh fasilitas
(artian material)
belajar-mengajar yang memadai. Baik artian
material maupun
spiritual, sekolah tetap sekolah, dia merupakan
suatu “area” khusus
dalam strata sosial dan budaya masyarakat
sehingga eksistensi
sekolah yang mendidik manusia tidak dapat
dipisahkan dengan
konteks masyarakat. Jadi sekolah merupakan
salah satu agen
sosialisasi norma dan nilai, sekolah merupakan
tempat lembaga
(institusi) pendidikan menyelenggarakan seluruh
kegiatannya baik
praktis maupun substantif.
Gambar berikut ini
menjelaskan kedudukan manusia sebagai
individu dalam
lingkungan sosial dan budaya masyarakat.
Gambar 3
Kedudukan Manusia dalam Lingkungan Sosial dan Budaya
Masyarakat
Secara sosiologis,
pendidikan juga mencakup proses
sosialisasi yang
dilembagakan melalui sekolah sebagai institusi,
karena kita membawa
anak-anak dari lingkungan keluarga ke
lingkungan yang lebih
luas. Perbuatan ini sama saja dengan
mengalihkan perhatian
kita dari pembentukan identitas individu
dalam suatu unit
keluarga kepada pembentukan struktur sosial
yang lebih luas dan
pada gilirannya akan saling memberikan
pengaruh oleh identitas
tersebut. Jadi, kita beralih dari suatu
orientasi mikro ke
makro yang dengan logika itu maka
pendidikan secara
bersistem tetap diperlukan untuk memanusiakan
manusia utuh dan kaya
arti.
Sebagaimana telah
terungkap dalam Liliweri (2001) ada beberapa
gagasan teoretis yang
dapat digunakan untuk menjelaskan
pentingnya pendidikan
modern bagi manusia. Pertama, Teori
Fungsionalisme dari
Collins. Teori ini berpendapat bahwa sistem pendidikan modern berasal dari
kebutuhan riil fungsional di
lapangan. Sebagai
contoh, industrialisasi telah menyebabkan
semakin besarnya
tuntutan tingkat keterampilan kerja. Akibatnya,
pendidikan harus
diperluas agar anak didik berfungsi sesuai
dengan kebutuhan untuk
mengisi struktur kerja. Ahli lain yang
memfokuskan diri
membahas peran utama sekolah dalam masyarakat
adalah Talcot Parsons
tahun 1959, yang tulisan-tulisannya
menganut pendekatan
aliran fungsionalis. Parsons melakukan
suatu upaya ilmiah
untuk menunjukkan fungsi mendasar dari
sekolah sebagai
perantara hubungan lintas lembaga pendidikan
primer menuju orientasi
pendidikan sekunder di mana anak yang
sebelumnya mendapat
pembinaan dan naungan kehidupan
keluarga maka di dalam
sekolah anak akan dipersiapkan untuk
mempelajari peran-peran
orang dewasa dalam struktur sosial
masyarakat modern.
Dalam Mifflen (1986) dia melihat dua fungsi
dari peran sekolah
yaitu:
a. Mengarahkan
anak dari orientasi kekhususan ke orientasi
yang universal serta
dari orientasi askriptif menuju orientasi
prestasi (meritokratis),
dan
b. Alokasi
seleksi atau diferensial ke peran-peran dewasa yang
mendapat kedudukan
tidak sama.
Analisis fungsionalnya
Parsons didasarkan pada konsepsi
teoretisnya yang
disebut sistem nilai umum dan
kebutuhan untuk
mengalokasikan individu
pada peran-peran tertentu dalam
masyarakat. Sekolah
merupakan struktur utama untuk menanamkan
sistem nilai umum ini
terutama untuk mengarahkan individu
ke berbagai peran-peran
orang dewasa.
Kedua,
Teori Marx . Menurut Marx bahwa sistem pendidikan
modern timbul sebagai
sistem disiplin kerja bagi usaha menguatnya
pembagian kerja antara
kelas pekerja dengan kelas penguasa
kapital. Kebutuhan para
kapitalis telah mengisi pendidikan
sehingga tidak
memberikan kesempatan pada kelas pekerja
mengenyam pendidikan.
Dalam Teori Marxis pendidikan
merupakan suatu lembaga
lain yang berada di bawah kekuatan
superstruktur kapitalis
tersebut. Tujuannya adalah untuk melegitimasi
interaksi eksploitatif
kepada kaum proletar dengan mendasarkan
pada faktor-faktor
produksi yang tercermin dalam struktur
sosialnya.
Ketiga,
Teori Inflasi Kredensial dari Collins dan Dore.
Menurut mereka bahwa
pendidikan adalah komoditas bernilai
tinggi yang dicari oleh
individu-individu sebagai alat sukses
ekonomi dan mobilitas
ke atas. Sistem pendidikan menjadi suatu
fokus untuk mendapatkan
diploma dan gelar kesarjanaan.
Terjadilah apa yang
disebut dengan Inflasi Kredensial (Inflasi
Ijasah), karena
penyelenggara pendidikan cenderung mengejar
jumlah tamatan
(kuantitas) sedangkan prinsip kualitas kurang
mendapat perhatian.
Akibatnya terjadi kelebihan ijasah sehingga
ada ijasah yang tidak
dapat digunakan.
Keempat,
Teori Pendidikan sebagai pembangunan bangsa.
Asumsi teori ini adalah
pendidikan massal modern timbul dan
meluas untuk dapat
memberi sosialisasi intensif kepada individuindividu
yang menjadi warga
negara yang layak dalam masyarakat
modern, rasionalistis
dan industri maju berteknologi tinggi.
Pendidikan menjadi
suatu alat besar yang mengikat individuindividu
pada tujuan sistem
politik modern dalam meningkatkan
pembangunan ekonomi dan
modernisasi masyarakat secara
menyeluruh.
Beberapa konsep
teoretis di atas telah memaparkan rangkaian
analisis tentang peran
dan fungsi lembaga sekolah dalam kehidupan
masyarakat khususnya
menjadi salah satu agen sosialisasi
bagi individu. Tentu
saja masing-masing konsep tersebut memiliki
signifikansi yang
berbeda-beda terhadap model penerapan dan
realitas pendidikan
(sekolah) kita. Sesuai dengan konstruksi sosial
dan kebudayaan yang
terbentuk maka secara prinsipil model
pendidikan kita
diarahkan pada tipe birokratis bagi seluruh
kalangan (education
for all) dengan fokus teori pendidikan untuk
membangun bangsa.
Sebagai lembaga
pendidikan formal, sekolah yang lahir dan
berkembang di dalam
masyarakat merupakan perangkat yang
berkewajiban memberikan
pelayanan kepada masyarakat dalam
mendidik warga negara.
Sekolah di kelola secara formal, hierarkis
dan kronologis yang
berhaluan pada falsafah dan tujuan nasional
suatu bangsa.
2.
Sifat-Sifat Lembaga Pendidikan Sekolah
Sekolah merupakan
lembaga pendidikan kedua setelah
keluarga yang bersifat
formal namun tidak kodrati. Kendatipun emikian banyak orang tua (dengan
berbagai alasan) menyerahkan
tanggung jawab
pendidikan anaknya kepada sekolah.
Dari kenyataan
tersebut, maka menurut Hasbullah (1999)
sifat-sifat dari
pendidikan sekolah tersebut adalah:
a. Tumbuh
Sesudah Keluarga (pendidikan kedua)
Dalam sebuah keluarga
tidak selamanya tersedia kesempatan
dan kesanggupan
memberikan pendidikan kepada anaknya,
sehingga keluarga
menyerahkan tanggung jawabnya kepada
sekolah. Di sekolah,
anak-anak memperoleh kecakapan seperti
membaca, menulis,
berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu
yang lain. Di samping
itu juga diberikan pelajaran menghargai
keindahan, membedakan
benar dan salah serta pendidikan
agama. Materi-materi
tersebut jelas sangat sulit diselenggarakan
di lingkungan keluarga.
b. Lembaga
Pendidikan Formal
Dinamakan lembaga
pendidikan formal, karena sekolah
mempunyai bentuk yang
jelas, dalam arti memiliki program
yang telah direncanakan
dengan teratur dan ditetapkan
dengan resmi, misalnya
di sekolah ada rencana pengajaran,
jam pelajaran dan
peraturan lain yang menggambarkan bentuk
sekolah secara
keseluruhan.
c. Lembaga
Pendidikan yang Tidak Bersifat Kodrati
Lembaga pendidikan
didirikan atas dasar hubungan darah
antara guru dan murid
seperti halnya di keluarga, tetapi
berdasarkan hubungan
yang bersifat formal. Murid juga secara
kodrat harus mengikuti
pendidikan sekolah tertentu, karena
itu sekolah merupakan
pendidikan yang tidak bersifat kodrati.
Dalam hal ini sudah
barang tentu hubungan antara pendidik
dan anak didik di
sekolah tidak seakrab hubungan di dalam
kehidupan keluarga,
sebab di antara guru dan murid tidak ada
ikatan berdasarkan
hubungan darah, di samping itu terlalu
banyak murid yang harus
dihadapi oleh guru.
3.
Fungsi dan Peranan Lembaga Sekolah
Dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan
Nasional, disebutkan bahwa jalur pendidikan
sekolah/formal
merupakan jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang (Pasal 1
ayat 10).
Peranan sekolah sebagai
lembaga yang membantu lingkungan
keluarga, maka sekolah
bertugas mendidik dan mengajar serta
memperbaiki dan
memperhalus tingkah laku anak didik yang
dibawa dari
keluarganya. Sementara dalam perkembangan kepribadian
anak didik, peranan
sekolah dengan melalui kurikulum,
antara lain yaitu,
a. Anak
didik belajar bergaul sesama anak didik, antara guru
dengan anak didik, dan
antara anak didik dengan orang yang
bukan guru (karyawan).
b. Anak
didik belajar mentaati peraturan-peraturan sekolah.
c. Mempersiapkan
anak didik untuk menjadi anggota masyarakat
yang berguna bagi
agama, bangsa dan negara.
Jelasnya bisa dikatakan
bahwa sebagian besar pembentukan
kecerdasan
(pengertian), sikap dan minat sebagai bagian dari
pembentukan
kepribadian, dilaksanakan oleh sekolah. Kenyataan
ini menunjukkan, betapa
penting dan besar pengaruh dari
sekolah.
Tentang fungsi sekolah
itu sendiri, sebagaimana yang dipaparkan
oleh Suwarno,1990
(dalam Hasbullah ,1999) adalah sebagai
berikut:
a. Mengembangkan
kecerdasan pikiran dan memberikan pengetahuan;
di samping bertugas
untuk mengembangkan pribadi
anak didik secara
menyeluruh, fungsi sekolah yang lebih
penting sebenarnya
adalah menyampaikan pengetahuan dan
melaksanakan pendidikan
kecerdasan. Fungsi sekolah dalam
pendidikan intelektual
dapat disamakan dengan fungsi
keluarga dalam
pendidikan moral.
b. Spesialisasi;
sebagai konsekuensi makin meningkatnya kemajuan
masyarakat ialah makin
bertambahnya diferensiasi sosial
yang melaksanakan tugas
tersebut. Sekolah mempunyai fungsi
sebagai lembaga sosial
yang spesialisasinya dalam bidang
pendidikan dan
pengajaran.
c. Efisiensi;
terdapatnya sekolah sebagai lembaga sosial yang
berspesialisasi di
bidang pendidikan dan pengajaran, maka
pelaksanaan pendidikan
dan pengajaran dalam masyarakat
menjadi lebih efisien,
sebab:
1) Apabila
tidak ada sekolah dan pekerjaan mendidik hanya
harus dipikul oleh
keluarga, maka hal ini tidak akan efisien, karena orang tua terlalu sibuk
dengan pekerjaannya,
serta banyak orang tua
tidak mampu melaksanakan
pendidikan dimaksud,
2) Oleh
karena pendidikan sekolah dilaksanakan dalam program
yang tertentu dan
sistematis, dan
3) Di
sekolah dapat dididik sejumlah besar anak secara
sekaligus.
d. Sosialisasi;
sekolah mempunyai peranan yang penting di
dalam proses
sosialisasi, yaitu proses membantu perkembangan
individu menjadi
makhluk sosial, makhluk yang dapat
beradaptasi dengan baik
di masyarakat. Sebab bagaimanapun
pada akhirnya dia
berada di masyarakat.
e. Konservasi
dan transmisi kultural;
Fungsi lain dari
sekolah adalah memelihara warisan budaya
yang hidup dalam
masyarakat dengan jalan menyampaikan
warisan kebudayaan tadi
(transmisi kultural) kepada generasi
muda, dalam hal ini
tentunya adalah anak didik.
f. Transisi
dari rumah ke masyarakat; ketika berada di keluarga,
kehidupan anak serba
menggantungkan diri pada orang tua,
maka memasuki sekolah
di mana ia mendapat kesempatan
untuk melatih berdiri
sendiri dan tanggung jawab sebagai
persiapan sebelum ke
masyarakat.
D.
Keluarga dan Sosialisasi
Lingkungan keluarga
merupakan lingkungan pendidikan
yang pertama, karena
dalam keluarga inilah anak pertama-tama
mendapatkan didikan dan
bimbingan. Juga dikatakan lingkungan
yang utama, karena
sebagian besar dari kehidupan anak adalah di
dalam keluarga,
sehingga pendidikan yang paling banyak diterima
oleh anak adalah dalam
keluarga.
Tugas utama dari
keluarga bagi pendidikan anak adalah
sebagai peletak dasar
bagi pendidikan akhlak dan pandangan
hidup keagamaan. Sifat
dan tabiat anak sebagian besar diambil
dari kedua orang tuanya
dan dari anggota keluarga yang lain.
Di dalam pasal 1 UU
Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dinyatakan
bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dan
seoarang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk
keluarga yang bahadia dan sejahtera, berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha
Esa. Anak yang lahir dari perkawinan
ini adalah anak yang
sah dan menjadi hak serta tanggung jawab
kedua orang tuanya.
Memelihara dan mendidiknya, dengan
sebaik-baiknya.
Kewajiban kedua orang tua mendidik anak ini
terus berlanjut sampai
ia dikawinkan atau dapat berdiri sendiri.
Dari definisi tersebut
dapat dirumuskan intisari pengertian
keluarga, yaitu sebagai
berikut,
1. Keluarga
merupakan kelompok sosial kecil yang umumnya
terdiri atas ayah, ibu,
dan anak,
2. Hubungan
sosial di antara anggota keluarga relatif tetap dan
didasarkan atas ikatan
darah, perkawinan dan / atau adopsi,
3. Hubungan
antar anggota keluarga dijiwai oleh suasana afeksi
dan rasa tanggung
jawab, dan
4. Fungsi
keluarga adalah memelihara, merawat, dan melindungi
anak dalam rangka sosialisasinya
agar mereka mampu
mengendalikan diri dan
berjiwa sosial.
Dengan demikian
terlihat betapa besar tanggung jawab orang
tua terhadap anak. Bagi
seorang anak, keluarga merupakan persekutuan
hidup pada lingkungan
keluarga tempat di mana ia
menjadi diri pribadi
atau diri sendiri. Keluarga juga merupakan
wadah bagi anak dalam
konteks proses belajarnya untuk
mengembangkan dan
membentuk diri dalam fungsi sosialnya. Di
samping itu, keluarga
merupakan tempat belajar bagi anak dalam
segala sikap untuk berbakti
kepada Tuhan sebagai perwujudan
nilai hidup yang
tertinggi.
Dengan demikian
jelaslah bahwa orang yang pertama dan
utama bertanggung jawab
terhadap kelangsungan hidup dan
pendidikan anak adalah
orang tua.
1.
Perkembangan Fungsi dan Peranan Keluarga
Keluarga merupakan
institusi sosial yang bersifat universal
dan multifungsional.
Fugnsi pengawasan, sosial, pendidikan,
keagamaan,
perlindungan, dan rekreasi dilakukan oleh keluarga
terhadap
anggota-anggotanya. Oleh karena proses industrialisasi,
urbanisasi dan
sekularisasi maka keluarga dalam masyarakat
modern kehilangan
sebagian dari fungsi-fungsi tersebut di atas.
Meskipun perubahan
masyarakat telah mendominasi, namun fungsi utama keluarga tetap melekat, yaitu
melindungi, memelihara,
sosialisasi, dan memberikan
suasana kemesraan bagi
anggotanya.
Menurut Vembriarto
(1990) ada tiga macam fungsi yang tetap
melekat sebagai cirri
hakiki keluarga, yaitu sebagai berikut.
a. Fungsi
biologis
Keluarga merupakan
tempat lahirnya anak-anak, fungsi biologis
orang tua ialah
melahirkan anak. Fungsi ini merupakan
dasar kelangsungan
hidup masyarakat. Namun fungsi ini juga
mengalami perubahan,
keluarga sekarang cenderung menyukai
jumlah anak yang
sedikit. Kecenderungan ini dipengaruhi
oleh faktor-faktor
sebagai berikut, : (1) perubahan tempat
tinggal keluarga dari
desa ke kota, (2) makin sulitnya fasilitas
perumahan, (3)
banyaknya anak dipandang sebagai hambatan
untuk mencapai sukses
material keluarga, (4) banyak anak
dipandang sebagai
penghambat tercapai kemesraan dalam
keluarga, (5)
meningkatnya taraf pendidikan wanita berakibat
berkurangnya kesuburan
kandungan, (6) menipisnya pengaruh
ajaran agama yang
menekankan agar keluarga mempunyai
banyak anak, (7) makin
banyaknya ibu-ibu yang bekerja
di luar rumah, dan (8)
makin meluasnya pengetahuan dan
penggunaan alat-alat
kontrasepsi.
b. Fungsi
afeksi
Dalam keluarga terjadi
hubungan sosial yang penuh dengan
afeksi-afeksi
kemesraan. Hubungan afektif ini tumbuh sebagai
akibat hubungan cinta
kasih yang menjadi dasar perkawinan.
Dari hubungan cinta
kasih ini lahirlah hubungan persaudaraan,
persahabatan,
kebiasaan, identifikasi, persamaan
pendangan mengenai
nilai-nilai. Dasar cinta kasih dan hubungan
afektif ini merupakan
faktor penting bagi perkembangan
pribadi anak. Dalam
masyarakat yang makin impersonal,
sekuler dan asing,
pribadi sangat membutuhkan hubungan
afeksi yang secara
khusus hanya terdapat dalam
kehidupan keluarga.
c. Fungsi
sosialisasi
Fungsi sosialisasi ini
menunjuk peranan keluarga dalam
membentuk kepribadian
anak. Melalui interaksi sosial dalam
keluarga itu anak
mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap,
keyakinan, cita-cita
dan nilai-nilai dalam masyarakat dalam
proses perkembangan
pribadinya.
Apabila kita perhatikan
kecenderungan yang membawa
proses perkembangan
zaman dari waktu ke waktu maka perlu
ada adaptasi
lembaga-lembaga kehidupan (termasuk keluarga)
agar tetap mampu
mempertahankan peranan dan fungsi, khususnya
di zaman yang kian
modern, sekularistis dan materialistis ini.
Perubahan sosial yang
datang bertubi-tubi rupanya telah membawa
pengaruh perubahan
orientasi kehidupan keluarga dari
keluarga tradisional
mengarah pada keluarga modern. Keluarga
tradisional pada
umumnya masih merupakan kesatuan produksi,
sedangkan keluarga
modern cenderung berorientasi pada
kesatuan konsumsi.
Proses perubahan
ekonomi pada masyarakat industri telah
mengubah sifat
keluarga, dari institusi pedesaan yang agraris
menuju ke institusi
perkotaan yang bernuansa industrialis.
Dengan demikian peranan
anggota-anggota keluarga juga mengalami
perubahan. Fungsi
produksi hilang, keluarga menjadi
kesatuan konsumsi
semata-mata. Keluarga di kota tidak lagi melakukan
fungsi produksi
langsung.
Anggota-anggota
keluarga bekerja di luar untuk mendapatkan
upah atau gaji, sebagai
sarana untuk mencukupi kebutuhankebutuhan
hidupnya (makanan,
pakaian, dan lain-lain). Pergeseran
fungsi produksi
keluarga itu tampak pada tumbuh kembangnya
industri pakaian jadi,
alat-alat rumah tangga, makanan,
toko makanan, restoran,
supermarket, dan sebagainya.
Oleh karena itu di sini
juga akan dipaparkan fungsi-fungsi
keluarga yang mengalami
pergeseran sebagai akibat pengaruh
dari gencarnya
perubahan sosial yang melingkupi aktivitas-aktivitasnya.
Fungsi-fungsi sosial
yang mengalami perubahan itu
antara lain yaitu,
a. Fungsi
pendidikan
Dahulu keluarga
merupakan satu-satunya institusi pendidikan.
Fungsi pendidikan
keluarga ini telah mengalami
banyak perubahan.
Secara informal fungsi pendidikan keluarga
masih tetap penting,
namun secara formal fungsi pendidikan
itu telah diambil alih oleh
sekolah. Proses pendidikan di penting. Apabila dulu fungsi sekolah terbatas
pada pendidikan
intelek, maka
kecenderungan sekarang pendidikan
sekolah diarahkan
kepada anak sebagai seorang pribadi. Guru
dengan bantuan
konselor, psikolog sekolah, psikolog klinis,
dan pekerja sosial
bersama-sama membantu anak agar mereka
berhasil menyesuaikan
diri dalam masyarakat.
b. Fungsi
rekreasi
Dulu keluarga merupakan
medan rekreasi bagi anggotaanggotanya.
Sekarang pusat-pusat
rekreasi di luar keluarga,
seperti gedung bioskop,
panggung sirkus, lapangan olah raga,
kebun binatang,
taman-taman, nightclub,
komunitas pengguna
jasa internet dan lain
sebagainya dipandang lebih menarik.
Demikian pula rekreasi
dalam kelompok sebaya menjadi
makin penting bagi
anak-anak. Perubahan tersebut menimbulkan
dua macam akibat, yaitu
jenis-jenis rekreasi yang dialami
oleh anggota-angota
keluarga menjadi lebih bervariasi, dan
anggota-anggota
keluarga lebih cenderung mencari hiburan di
luar keluarga.
c. Fungsi
keagamaan
Dulu keluarga merupakan
pusat pendidikan upacara ritual
dan ibadah agama bagi
para anggotanya di samping peranan
yang dilakukan oleh
institusi agama. Proses sekularisasi dalam
masyarakat dan
merosotnya pengaruh institusi agama menimbulkan
kemunduran fungsi
keagamaan keluarga.
d. Fungsi
perlindungan
Dahulu keluarga
berfungsi memberikan perlindungan, baik
fisik maupun sosial,
kepada para anggotanya. Sekarang
banyak fungsi
perlindungan dan perawatan ini telah diambil
alih oleh badan-badan
sosial, seperti tempat perawatan bagi
anak-anak cacat tubuh
dan mental, anak yatim piatu, anakanak
nakal, orang-orang
lanjut usia, perusahaan asuransi dan
sebagainya.
2.
Keluarga sebagai Kelompok Primer
Proses perubahan
masyarakat dari masarakat agraris yang
masih tradisional ke
arah masyarakat industri yang bernuansa
modern telah
mempengaruhi perubahan organisasi keluarga,
yaitu dari extended
family cenderung berubah ke arah nuclear
family.
Industrialisasi merupakan sebab utama perubahan dari
bentuk lama extended
family itu kepada bentuk baru nuclear family.
Ada tiga alasan yang
menyebabkan perubahan tersebut, yaitu
sebagai berikut.
a. Industrialisasi
menyebabkan nuclear family menjadi
lebih
bersifat dinamis, mudah
berpindah dari satu tempat ke tempat
yang lain. Keluarga tidak
lagi terikat oleh sebidang tanah
untuk penghidupannya,
melainkan mereka akan berpindah ke
tempat di mana ada
pekerjaan. Mobilitas keluarga ini akan
melemahkan ikatan
kekerabatan dalam extended family,
b. Industrialisasi
dapat mempercepat emansipasi wanita, karena
memungkinkan wanita
untuk mendapatkan pekerjaan di luar
rumah tangga.
Emansipasi ini menyebabkan lemahnya fungsifungsi
extended
family di satu sisi, dan memperkuat fungsi
nuclear
family di sisi lain, dan
c. Industrialisasi
telah menimbulkan corak kehidupan ekonomi
baru dalam masyarakat.
Dalam masyarakat agraris, semua
anggota keluarga baik
itu anak-anak, wanita, para orang tua
dapat turut serta dalam
proses produksi pertanian. Extended
family
memberikan keuntungan ekonomi. Dalam masyarkat
industri, anak-anak,
orang tua, orang cacat, tidak dapat turut
serta dalam proses
produksi di pabrik. Mereka justru menjadi
beban keluarga.
Nuclear
family merupakan kelompok primer. Kelompok
primer ialah kelompok
kecil yang ciri-cirinya antara lain adalah
hubungan
antaranggotanya intim, kooperatif, dan biasanya face
to
face,
masing-masing anggota memperlakukan anggota yang lain
sebagai tujuan bukannya
sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Keluarga merupakan
suatu sistem jaringan interaksi pribadi.
Keluarga berperan
menciptakan persahabatan, kecintaan, rasa
aman, hubungan
antarpribadi yang bersifat kontinu; semua itu
merupakan dasar-dasar
bagi perkembangan kepribadian anak.
Sebagai kelompok
primer, keluarga berpengaruh besar terhadap
anggota-anggotanya,
karena,
a. Keluarga
memberikan kesempatan yang unik kepada anggotanya
untuk menyadari dan
memperkuat nilai kepribadiannya. untuk menampakkan kepribadiannya. Kesempatan
ini sangat
penting bagi
sosialisasi anak karena dengan cara demikian
individu membangun
harga dirinya.
b. Keluarga
mengatur dan menjadi perantara hubungan anggotaanggotanya
dengan dunia luar.
Dalam hubungan tersebut
dapat dibedakan menjadi
dua macam corak keluarga, yaitu,
1) Keluarga
terbuka, yaitu keluarga yang mendorong anggota-
anggotanya untuk bergaul
dengan masyarakat luas.
Anak bebas bergaul
dengan teman-temannya. Ayah dan
ibu mempunyai banyak
kenalan. Keluarga terbuka bagi
tamu. Anggota keluarga
mempunyai perhatian terhadap
masalah-masalah
kemasyarakatan. Keluarga yang bersifat
terbuka lebih sedikit
mengalami ketegangan-ketegangan
daripada keluarga yang
bersifat tertutup, sebab pergaulan
dengan dunia luar itu
dapat menghilangkan atau mengurangi
beban-beban emosional.
2) Keluarga
tertutup, yaitu keluarga yang menutup diri terhadap
hubungan dengan dunia
luar. Keluarga yang tertutup
menghadapi orang luar
dengan kecurigaan. Hubungan
sosial yang intim,
kecintaan, afeksi, terbatas dalam lingkungan
keluarga sendiri.
Karena tekanan-tekanan batin
tidak dapat disalurkan
keluar dalam hubungan sosial
dengan dunia luar, maka
kemarahan, kekecewaan ditumpahkan
kepada keluarga
sendiri. Akan tetapi keluarga
yang tertutup lebih
intim.
3.
Sosialisasi dalam Keluarga
Dari pembahasan di atas
dapat diketahui, bahwa keluarga
merupakan institusi
yang paling penting pengaruhnya terhadap
proses sosialisasi
individu atau seseorang.
Kondisi-kondisi yang
menyebabkan pentingnya peranan
keluarga dalam proses
sosialisasi anak, ialah:
a. Keluarga
merupakan kelompok kecil yang anggota-anggotanya
berinteraksi face
to face secara tetap. Dalam kelompok yang
demikian perkembangan
anak dapat diikuti dengan seksama
oleh orang tuanya dan
penyesuaian secara pribadi dalam
hubungan sosial lebih
mudah terjadi.
b. Orang
tua mempunyai motivasi yang kuat untuk mendidik
anak karena merupakan
buah cinta kasih hubungan suami
isteri. Anak merupakan
perluasan biologis dan sosial orang
tuanya. Motivasi kuat
ini melahirkan hubungan emosional
antara orang tua dengan
anak. Penelitian-penelitian membuktikan
bahwa hubungan
emosional lebih berarti dan efektif
daripada hubungan
intelektual dalam proses sosialisasi.
c. Oleh
karena hubungan sosial di dalam keluarga itu bersifat
relatif tetap, maka
orang tua memainkan peranan sangat
penting terhadap proses
sosialisasi anak.
Keluarga sebagai
lembaga pertama dan utama yang memberikan
pendidikan kepada
individu secara lahir maupun batin untuk
tumbuh dan berkembang
hingga sang anak menginjak dewasa.
Dalam hal ini beberapa
aspek tujuan sosialisasi yang dilaksanakan
oleh keluarga untuk
masyarakat modern seperti mengajarkan
bermacam-macam
keterampilan, telah diambil alih oleh lembaga
sekolah atau institusi
sosial yang lain.
Tujuan Sosialisasi
dalam Keluarga
Secara mendasar
terdapat tiga tujuan sosialisasi di dalam
keluarga, yakni sebagai
berikut.
a. Penguasaan
diri
Masyarakat menuntut
penguasaan diri pada anggota-anggotanya.
Proses mengajar anak
untuk menguasai diri ini dimulai
pada waktu orang tua
melatih anak untuk memelihara kebersihan
dirinya. Ini merupakan
tuntutan sosial pertama yang
dialami oleh anak untuk
latihan penguasaan diri. Tuntutan
penguasaan diri ini
berkembang, dari yang bersifat fisik
kepada penguasaan diri
secara emosional. Anak harus belajar
menahan kemarahannya
terhadap orang tua atau saudarasaudaranya.
Tuntutan sosial yang
menuntut agar anak
menguasai diri
merupakan pelajaran yang berat bagi anak.
b. Nilai-nilai
Bersama-sama dengan
proses berlatih penguasaan diri ini
kepada anak diajarkan
nilai-nilai. Penelitian-penelitian menunjukkan
bahwa nilai-nilai dasar
dalam diri seseorang terbentuk
pada usia enam tahun.
Di dalam perkembangan usia tersebut
keluarga memegang
peranan terpenting dalam menanamkan permainannya dapat dpinjamkan kepada
temannya, maka di
situ dapat muncul suatu
makna tentang arti dari kerja sama.
Mengajarkan anak
menguasai diri agar tidak bermain-main
dahulu sebelum
menyelesaikan pekerjaan rumahnya, maka di
situ mengandung ajaran
tentang nilai sukses dalam pekerjaan.
c. Peran-peran
sosial
Mempelajari peran-peran
sosial ini terjadi melalui interaksi
sosial dalam keluarga.
Setelah dalam diri anak berkembang
kesadaran diri sendiri
yang membedakan dirinya dengan
orang lain, dia mulai
mempelajari peranan-peranan sosial
yang sesuai dengan
gambaran tentang dirinya. Dia mempelajari
peranannya sebagai
anak, sebagai saudara (kakak/adik),
sebagai
laki-laki/perempuan, dan sebagainya. Proses mempelajari
peran-peran sosial ini
kemudian dilanjutkan di
lingkungan kelompok
sebaya, sekolah, perkumpulan-perkumpulan
dan lain sebagainya.
Ciri
yangMelekat pada Keluarga
Keluarga merupakan
lingkup kehidupan yang paling berpengaruh
terhadap perjalanan
seorang individu, maka peran
keluarga dalam hubungan
sosialisasi anak juga dipengaruhi oleh
ciri yang melekat di
dalam keluarga tersebut. Anak yang tumbuh
kembang menjadi seorang
pribadi yang utuh merupakan
cerminan dari hubungan
antara kedua aspek tersebut. Ciri yang
melekat pada keluarga
itu dapat di bagi menjadi dua yakni
sebagai berikut.
a. Aspek
Internal (Corak Hubungan antara Orang Tua dan Anak)
Para ahli sepakat bahwa
cara meresepnya nilai-nilai sosial ke
dalam diri individu
dalam awal perkembangan kepribadiannya
diperoleh melalui
hubungan-hubungannya dengan manusiamanusia
dewasa, khususnya orang
tua. Nilai-nilai dan pola
tingkah laku
diinternalisasikan ke dalam diri anak hanya bisa
tercakup dalam konteks
hubungan yang intensif, melibatkan
partisipasi lahir
maupun batin, face to face dan
kontinu. Dalam hal
ini tentunya corak
hubungan yang mampu memproduk pribadi
seorang individu
satu-satunya diperankan oleh lembaga keluarga.
Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Fels Research Institute,
pola hubungan orang
tua-anak dapat dibedakan menjadi tiga
yaitu,
1) Pola
menerima-menolak, pola ini didasarkan atas taraf
kemesraan orang tua
terhadap anak,
2) Pola
memiliki-melepaskan, pola ini didasarkan atas seberapa
besar sikap protektif
orang tua terhadap anak. Pola ini bergerak
dari sikap orang tua
yang overprotektif dan
memiliki
anak sampai kepada
sikap mengabaikan anak sama sekali, dan
3) Pola
demokrasi-otokrasi, pola
ini didasarkan atas taraf partisipasi
anak dalam menentukan
kegiatan-kegiatan dalam
keluarga. Pola otokrasi
berarti orang tua bertindak sebagai
diktator terhadap anak,
sedangkan pola demokrasi, sampai
batas-batas tertentu
dapat melibatkan partisipasi anak untuk
menentukan
keputusan-keputusan keluarga.
Anak yang dibesarkan
dalam keluarga yang bersuasana
demokratis, memiliki
karakter perkembangan yang luwes dan
dapat menerima
kekuasaan secara rasional. Sebaliknya anak yang
dibesarkan dalam
suasana keluarga otoriter, memandang kekuasaan
sebagai sesuatu yang
harus ditakuti dan bersifat sakral.
Tentu saja akibat
pola-pola hubungan antaranggota keluarga
tersebut dapat
membentuk suatu wujud kepribadian-kepribadian
tertentu kepada sang
anak. Dalam pola otoriter misalnya, anak
akan berkembang menjadi
individu yang penakut atau tunduk
kepada peraturan secara
membabi buta, bahkan jika hal itu
mengisahkan suatu
tragedi maka sang anak akan menjadi
manusia patologis yang
selalu menentang kekuasaan.
b. Aspek
Sosial
Aspek ini menyangkut
status sosial yang dimiliki oleh
keluarga tersebut di
dalam struktur dan status kehidupan masyarakatnya.
Secara internal
hubungan orang tua yang menyandang
status pekerjaan dan
kedudukan sosial tertentu di dalam
masyarakatnya dapat
juga mempengaruhi karakter kepribadian
dalam mendidik anak.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Universitas Chicago
sekitar tahun 1940-an menyimpulkan bahwa
keluarga kelas sosial
menengah kurang menerapkan hukuman
badan, lebih mendorong
tercapainya prestasi, dan memberikan
tanggung jawab secara
leluasa dan bebas kepada sang anak. atar belakang perilaku dan pola-pola
tindakan yang diterapkan
oleh orang tua dalam
menerapkan metode interaksi pendidikan
terhadap sang anak
ternyata juga merupakan hasil pengaruh dari
kelas sosial yang
dimiliki oleh keluarga. Salah satu alasan penting
yang menimbulkan
perbedaan itu adalah alasan ekonomi.
1) Keluarga
kelas sosial bawah umumnya memiliki banyak anak,
penghasilan kecil,
hidup di dalam rumah yang penuh sesak.
Dalam kondisi demikian
anak dituntut untuk patuh, tidak
boleh ribut, tidak
boleh terlalu berinisiatif agar tidak
menimbulkan banyak
resiko bagi keluarga. Sebaliknya
keluarga kecil, keadaan
ekonominya lebih baik; keluarga
demikian memberi
kesempatan kepada anak untuk memiliki
inisiatif, apresiasi
dan kreativitas yang cukup tinggi.
2) Orang
tua dari kelas bawah memiliki kedudukan pekerjaan
yang rendah. Sebagai
bawahan mereka terbiasa bersikap patuh
dan tunduk pada
atasannya. Sikap ini secara tidak sadar
terpancar dalam proses
mendidik anak-anaknya di rumah.
E.
Hubungan Timbal Balik Sekolah – Keluarga Bagi Individu
1.
Pergaulan dalam Keluarga
Pada umumnya, keluarga
terdiri dari ayah, ibu dan anak di
mana masing-masing
anggota keluarga tersebut saling mempengaruhi,
saling membutuhkan,
semua mengembangkan hubungan
intensif antaranggota
keluarga. Anak membutuhkan pakaian,
makanan dan bimbingan
dari orang tua dan orang tua membutuhkan
rasa kebahagiaan dengan
kelahiran anak. Ketika anak
tumbuh dewasa maka
dibutuhkan tenaga dan pikirannya untuk
membantu orang tua,
lebih-lebih bila orang tua makin tidak
berdaya karena usia
yang sudah lanjut.
Orang tua mempunyai
peranan pertama dan utama bagi
anak-anaknya selama
anak belum dewasa dan mampu berdiri
sendiri. Untuk membawa
anak kepada kedewasaan, maka orang
tua harus memberi
teladan yang baik karena anak suka mengimitasi
kepada orang yang lebih
tua atau orang tuanya.
Dengan lingkungan
pergaulan antara orang tua terhadap
anak dan anak itu
sendiri dengan anggota keluarga yang lain
maka sang anak telah
dihadapkan pada suatu kehidupan interaktif
yang telah membekalinya
kemampuan-kemampuan dasar
untuk bertahan hidup
baik dari segi fisik maupun nonfisiknya.
2.
Pergaulan Di Dalam Sekolah
Sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal, terdiri dari
pendidik dan anak
didik. Antara mereka telah terjadi hubungan
yang berlapis-lapis,
baik antara murid dengan guru, murid
dengan sesama murid
serta murid dengan warga sekolah lainnya.
Guru-guru sebagai
pendidik, dengan wibawanya dalam
pergaulan membawa murid
sebagai anak didik ke arah kedewasaan.
Memanfaatkan pergaulan
sehari-hari dalam pendidikan
adalah cara yang paling
baik dan efektif dalam pembentukan
pribadi dan dengan cara
ini pula maka hilanglah jurang pemisah
antara guru dan anak
didik.
Hubungan murid dengan
murid juga menunjukkan suasana
yang edukatif. Sesama
murid saling berkawan, berolahraga
bersama dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku, saling
mengajak dan diajak,
saling bercerita, saling mendisiplinkan diri
agar tidak menyinggung
perasaan teman sepergaulannya.
Dalam lingkungan
sekolah seorang individu dihadapkan
pula pada pola
orientasi kehidupan yang lebih luas. Di mana
perangkat-perangkat
aktivitas tersebut tidak dia temui di dalam
keluarga. Secara
prinsipiil melihat sekolah sebagai ruang
terorganisasi yang di
dalamnya terdapat peran-peran yang cukup
kompleks maka seluruh
siswa telah balajar mengenal orientasi
kehidupan menuju
pembelajaran dan persiapan untuk menyandang
status orang-orang
dewasa.
Sekolah merupakan
miniatur masyarakat yang memiliki
peran-peran yang cukup
rumit dan menerapkan pola-pola
peraturan yang lebih
ketat. Tempat di mana proses pengajaran
keterampilan dan
macam-macam standar pengetahuan akan diserap
dan dipahami oleh siswa
untuk memainkan peran kehidupannya
pada jenjang
kedewasaannya.
3.
Pengaruh Keluarga-Sekolah Terhadap Individu
Proses sosialisasi
individu mengidentifikasi dirinya sesuai
dengan perkembangan
fisik dan emosinya untuk diarahkan pada
hubungan keselarasan
dengan lingkungan eksternalnya. Pendekatan-
pendekatan yang
dikembangkan oleh ahli-ahli ilmu sosial di
atas sudah cukup
menjelaskan bahwa hasil terbentuknya kepribadian
merupakan hasil
perwujudan dari dunia luar. eiring dengan perkembangan fisik biologisnya
individu
mendapat perlakuan yang
sangat intensif untuk mengembangkan
fungsi-fungsi fisik
serta kemampuan-kemampuan mental etis
yang paling mendasar
dari keluarga. Melalui segala aktivitas yang
tercakup dalam
lingkungan keluarga selain individu menyesuaikan
perkembangan fisik
sesuai dengan perjalanan usianya, maka
tiap fase-fase usia
yang dilalui individu telah mendapat bekalbekal
mendasar untuk
mengembangkannya setelah ia benar-benar
merasa memiliki
kepribadian secara dewasa.
Selain dari keluarga,
dalam perkembangan umur dan mentalnya
individu mendapat
pengaruh dari sekolah dan dari masyarakat.
Wujud dari pengaruh
timbal balik antara sekolah dengan
keluarga dalam suatu
masyarakat terhadap individu dapat
digambarkan dalam
ilustrasi berikut.
Keterangan:
1.
Anak sebagai individu
2.
Anak sebagai murid sekolah
3.
Anak sebagai anggota keluarga
Gambar
4
Skema
Hubungan Sekolah-Keluarga dalam Sosialisasi Individu
Dalam perkembangan yang
lebih lanjut ketika sang individu
sudah cukup memiliki
kemampuan untuk melangsungkan aktivitas-
aktivitas mendasar
sebagai manusia. Ia lalu memasuki suatu
wilayah kehidupan luar
dari keluarganya. Lingkungan itu tidak
lain adalah sekolah. Di
dalam sekolah perkembangan kemampuan
tidak terbatas pada
akomodasi kemampuan-kemampuan mendasar
semata. Namun di situ
juga telah terbina suatu ruang
sosialisasi yang lebih
luas dengan memiliki perangkat-perangkat
yang cukup lengkap.
Peraturan, keterampilan, ilmu pengetahuan,
kebudayaan masyarakat,
seni dan estetika, penempaan spiritual,
serta wadah
kreasi-kreasi yang lebih komplek adalah aspek-aspek
khusus yang dimiliki
oleh sekolah dalam menjalankan proses
sosialisasi kepada
individu.
Kedua lembaga sosial
tersebut selalu beriringan mengisi
setiap waktu kehidupan
individu dalam aktivitas kesehariannya
dengan spesifikasi yang
berbeda-beda. Keluarga bertugas menjalankan
sosialisasi nilai-nilai
dasar kemanusiaan dalam pola
hubungan yang afektif.
Sementara sekolah lebih menekankan
pada proses
pembelajaran, pengajaran serta penempaan kepada
individu yang berisi
tentang ilmu pengetahuan, keterampilan,
serta
penguasaan-penguasaan peran-peran sosial yang lebih luas
di luar keluarga. Kedua
peran pembentukan tersebut lalu membentuk
peran individu dalam
masyarakat tempat atau wilayah
dimana individu itu
berada, baik dalam skala mikro maupun
makro.